Ketika diberi “tugas” untuk menuliskan proses menjadi penerjemah oleh pak Sugeng, tiba-tiba saya teringat pengalaman saya waktu SD. Tidak ada hubungannya langsung memang, tapi bila saya telusuri mungkin itu bisa jadi salah satu embrio minat saya pada dunia terjemahan dan tulis menulis. Waktu itu saya duduk di kelas tiga di sebuah SD swasta di kota kecil di Kabupaten Malang. Kalau mengingat kembali saya juga sempat heran betapa di sebuah sekolah kecil semacam itu saya bisa menemukan dan membaca karya-karya sastra yang luar biasa. Salah satunya adalah “Pangeran Kecil” karya seorang penulis Prancis, St Antoine de Exuperry. Sempat pula terlintas saat itu, betapa enaknya bisa membaca karya-karya dunia lewat terjemahan. Tapi tentu saja tidak pernah terlintas di benak kanak-kanak saya untuk menjadi seorang penerjemah!
Kecintaan pada bahasa yang sudah sejak kecil ini semakin berkecambah, terutama ketika SMA. Di saat teman-teman pada bingung ingin masuk jurusan Fisika (sekarang IPA), saya mati-matian berusaha bisa masuk ke jurusan Budaya (sekarang Bahasa). Ternyata pilihan saya tidak keliru, sekalipun saya juga masih belum terlintas bayangan untuk terjun ke dunia penerjemahan. Saya masih ingat betul, sebagai tugas akhir waktu itu saya berusaha menerjemahkan bacaan-bacaan yang ada di dalam buku pelajaran bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Singkat cerita, saya masuk Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Malang (Sekarang UM) pada tahun 1993. Pilihan masuk di IKIP Malang sebenarnya juga bukan untuk menjadi penerjemah. Yang terlintas di benak saya saat itu adalah bahwa saya bisa belajar teater secara informal dari para tokoh yang ada di sana. Sedangkan pertimbangan mengambil bahasa Inggris adalah keinginan untuk membaca buku-buku sastra dan humaniora pada umumnya dari sumber asli (atau minimal bukan dari terjemahan bahasa Indonesia).
Di kampus inilah saya mulai berkenalan dengan terjemahan sebagai profesi. Sekali waktu saya membantu seorang teman yang membuka biro terjemahan di kos-kosannya. Kadang saya juga dimintai tolong teman-teman sesama aktivis kampus untuk menerjemahkan tugas-tugas mereka. Namun semua itu saya lakukan sambil lalu saja. Seringkali tarif yang saya pasang pun hanya sebatas “tarif pertemanan”. Disamping itu, kadang saya juga menulis untuk koran kampus. Sebenarnya saat itu sampai setahun lulus, saya sempat bercita-cita menjadi jurnalis. Bahkan sekarang pun kadang saya masih diundang untuk mengisi workshop atau diklat jurnalistik. Kesempatan itu sebenarnya sempat datang. Seorang teman yang menjadi biro Jawa Pos Radar Banyuwangi menawarkan lowongan untuk menjadi wartawan, tapi harus siap dalam 24 jam. Ternyata nasib tidak berpihak pada saya. Karena berbagai pertimbangan (diantaranya harus mendampingi kelompok teater yang saya sutradarai ke Surabaya) mau tidak mau saya harus menolak tawaran itu.
“Satu pintu tertutup pintu lain akan terbuka,” begitu kata-kata dari sebuah film yang saya lupa judul maupun bintangnya. Benar kiranya bahwa Tuhan seringkali membuka jalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Sungguh saya akui betapa pongah dan bodohnya saya yang tidak tahu cara bersyukur. Saya merasa beruntung karena ada orang yang mengingatkan saya untuk hidup secara realistis dengan tanpa menjadi pragmatis. Adalah seorang Setyono Wahyudi, yang saya kenal di penerbit IKIP, mengingatkan saya untuk menyeimbangkan kehidupan spiritual dan idealisme berkesenian saya dengan kehidupan material. Beliau menyarankan saya untuk “melamar’ menjadi penerjemah di Biro Penerjemahan Adiloka. Sebelumnya saya hanya kenal sekilas dengan pak Adiloka yang juga saya kenal di penerbit IKIP. Ternyata beliau menerima saya senang hati, bahkan saya dibimbing dengan baik dalam proses menjadi penerjemah. Tidak jarang beliau maupun keluarga beliau memberikan masukan, tidak hanya soal terjemahan tapi juga kehidupan pribadi saya. Bulan September 1999 merupakan awal terjun saya secara profesional ke dalam dunia terjemahan. Di Biro Penerjemahan Adiloka ini saya bergelut dengan berbagai macam teks akademik, dan kemudian juga menjadi jembatan untuk menerjemahkan buku.
Menjadi penerjemah ternyata memiliki berbagai macam tantangan yang bagi saya begitu memesona. Saya harus berjuang “mengakrabi” kata-kata dan “melawan” kemiskinan bahasa. Paradoks “pengintiman” dan “perlawanan” ini kadang harus diatasi menjadi sebuah dusta, terutama ketika menerjemahkan karya sastra. Kadang kita harus memilih sekian pilihan kata untuk pada akhirnya sampai pada yang kita anggap sebagai yang terbaik. Kadang kita harus menciptakannya. Kadang kita harus berdusta dengan hanya menangkap makna atau nuansanya. Namun seperti halnya seni, yang kata orang adalah dusta yang kudus, karya terjemahan pun kadang harus berkhianat untuk menunjukkan kesuciannya. Dan bukankah Bisma juga Suci? Bukankah Sinta juga suci hingga rela dibakar api? Hal semacam ini pernah saya alami ketika menerjemahkan buku Deepak Chopra (entah kenapa sampai sekarang belum diterbitkan) yang berisi puisi-puisi spiritual Rumi, Hafiz dan sejenisnya. Begitu pula ketika menerjemahkan naskah drama dan kumpulan cerpen Hemingway, The Fifth Column. Misalnya saja, apakah tidak dusta namanya kalau menerjemahkan orang Spanyol berbahasa Inggris terbata-bata, lalu saya terjemahkan seperti orang Belanda yang gagap berbahasa Indonesia . Apa juga bukan dusta menerjemahkan kata Ubermensch (dalam filsafat Nietzsche) yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan Superman, padahal keduanya memiliki nunasa makna yang berbeda. Kalaupun akhirnya saya memilih menerjemahkannya menjadi Adimanusia, saya tetap tidak yakin kata itu benar-benar mewadahi konsep yang dikehendaki Nietzsche. Sedangkan pengalaman mengatasi kemiskinan bahasa saya alami terutama ketika menerjemahkan teks-teks filsafat. Ada kalanya kita harus menyerah untuk menghindari kerancuan pemikiran. Ketika saya menerjemahkan kata know dalam filsafat sosial, akhirnya saya harus memilah kapan kata ini bermakna,: mengenal, mengetahui, memahami dan seterusnya.
Menerjemahkan buku seringkali memberi kenikmatan tersendiri bagi saya, di luar hal-hal yang bersifat finansial. Saya merasa bahagia dan bangga dapat menerjemahkan buku Theatre of Absurd karya Martin Esslin (sekalipun sekarang naskahnya terombang-ambing nasibnya), karena saya yakin ini akan sangat bermanfaat bagi “keluarga besar saya” di dunia teater.
Akhirnya sempat juga saya berkenalan dengan penerjemahan internasional lewat internet. Dunia yang saya sangka sebelumnya sebagai rimba sunyi kata-kata ternyata mengasyikkan juga.. Perkenalan saya dengan portal-portal terjemahan di internet telah menyadarkan saya bahwa saya tidak sendirian di rimba ini. Di dalamnya saya bertemu dengan banyak “mahluk” dengan berbagai macam perangai dan “kesaktiannya”. Akhirnya saya tahu saya tidak akan pernah menyesal masuk ke rimba ini. Seperti kata Robert Frost:
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
(Dari The Road Not Taken).
Malang, 4-5 Maret 2005
Copyright © ProZ.com, 1999-2024. All rights reserved.